Juha Christensen Membuat GAM Sangat Geram Selama Perundingan (RI/GAM)

SEJAK pertama konflik Aceh terjadi sampai sekarang, ada beberapa kali Aceh berhasil diperdaya oleh pemerintah. Banyak penyebabnya, salah satunya adalah absennya penengah yang netral atau mediator yang menengahi. Pimpinan perjuangan Aceh, dan yang terakhir adalah pimpinan GAM dalam setiap proses perdamaian, selalu bertahan untuk adanya mediator asing yang memfasilitasi dialog.
Selama perundingan di awal tahun 2000-an, proses dimediasi oleh HDC, saat itu bernama Henry Dunant Center yang berpusat di Geneva dan dipimpin oleh Martin Griffiths.
HDC juga sempat meminta bantuan beberapa tokoh internasional yang disebut dengan ‘wise men’ dalam proses perundingan. Mereka adalah Surin Pitsuwan mantan menteri luar negeri Thailand, Tan Sri Musa Hitam mantan wakil perdana menteri Malaysia, Budimir Loncar mantan menteri luar negeri Yugoslavia dan Anthony Zinni mantan komandan jenderal korp marinir Amerika Serikat (USMC).
Wise men memang bukan untuk menggantikan fungsi HDC sebagai mediator tetapi membantu dan memberi masukan kepada HDC untuk mempercepat proses perdamaian.
Dalam proses perdamaian Aceh, ada juga muncul nama Lord Avebury (Eric Reginald Lubbock, baron Avebury ke IV) anggota majelis Lord Inggris yang sangat disegani dan tidak pernah surut membela Aceh dalam berbagai kesempatan.
Demikian juga ketika proses perundingan Helsinki berlangsung, ada beberapa nama yang sempat menjadi anggota tim perunding GAM di Helsinki sebagai political advisor. Di antaranya Prof. Ramasamy Palanisamy, saat ini menjabat deputy chief minister Penang Malaysia. Sebelumnya mengajar di University Kebangsaan Malaysia (UKM), diberhentikan salahsatu sebabnya karena banyak membantu Aceh dan Srilangka.
Nama lain yang juga pernah menjadi penasehat politik GAM di Helsinki adalah Prof. Vacy Vlazna seorang aktivis Australia yang giat berkampanye Hak Asasi Manusia di Palestina dan Timor Leste.
Dari nama-nama tersebut, ada tiga nama lain yang pernah mengisi memory rakyat Aceh namun berbeda nasib.
Yang pertama adalah William Nessen atau dikenal dengan Billy. Seorang wartawan yang pernah bikin geger Indonesia karena masuk dan meliput di saat wartawan asing dilarang meliput ke Aceh. Billy berhasil masuk ke Aceh dan membuat sebuah film dokumenter yang luar biasa berjudul the black road, jalan hitam.
Ketika Aceh ditimpa musibah tsunami, Billy juga masuk ke Aceh dengan cara menyeludup, dia berhasil mendapatkan informasi tentang kondisi mantan kombatan GAM di lapangan dan beritanya dimuat di media internasional.
Billy sangat dekat dengan kombatan dan pimpinan GAM serta komunitas Aceh di luar negeri. Banyak sekali jasanya untuk Aceh dalam mencapai perdamaian. Billy juga sering mengikuti rapat-rapat di Swedia dan sering bercengkerama dengan almarhum Tengku Hasan Muhammad di Tiro, wali negara.
Pada masa pemerintahan Irwandi Yusuf, Billy pernah masuk ke Aceh diundang oleh gubernur Aceh saat itu, namun namanya masuk ke dalam daftar cekal imigrasi. Yaa, dia dicekal mungkin sampai saat ini. Dia dicekal karena berjasa kepada Aceh dan perdamaian Aceh.
Yang kedua, prof. Damien Kingsbury. Seorang penasehat hebat bagi GAM selama perundingan Helsinki. Banyak jasanya dalam menuliskan usulan dari delegasi GAM dan mempersiapkan statement kepada media dan publik. Saat ini menjadi Professor of International Politics dan Director, Masters of International and Community Development School of Humanities and Social Sciences Deakin University, Melbourne.
Prof. Damien yang sangat berjasa ini, beberapa kali pernah ditolak masuk ke Indonesia dan ditolak visanya kerena masuk ke dalam daftar cekal. Bahkan tidak bisa masuk untuk seminar tentang perdamaian. Seorang yang besar kontribusinya untuk GAM dan Aceh, termasuk dalam tim negosiasi GAM sampai mencapai perdamaian di Helsinki, tetapi tetap dicekal oleh imigrasi.
Yang ketiga, Juha Christensen. Kurang jelas backroundnya, tetapi dikenal sebagai pengusaha alat-alat kesehatan yang bersahabat dengan Farid Husein, seorang mantan direktur jenderal di kementerian kesehatan dan anggota tim perunding RI di Helsinki. Juha merupakan kaki pemerintah yang bekerja membantu Martti Ahtisaari dan mendekati pihak pimpinan GAM untuk turut serta dalam perundingan di Helsinki.
Pernah di dalam perundingan Helsinki, ketika kedua belah pihak hampir mencapai kesepakatan dan sedang berdiskusi tantang partai politik lokal, Juha Christensen pernah menyela dan mengatakan bahwa GAM harus dibubarkan. Hal yang membuat GAM sangat geram karena sebagai fasilitator, Juha tidak berhak untuk menyela dan menyampaikan masalah pembubaran GAM yang memang tidak pernah dibincangkan selama perundingan. Walaupun Juha tetap mengurus beberapa hal untuk GAM, tetapi kepercayaan GAM kepada Juha menipis karena berat sebelah.
Prof. Damien dan Billy pernah beberapa kali berdebat dengan Juha tentang sikapnya yang tidak mencerminkan netralitas.
Apalagi ketika Juha mengabarkan bahwa dirinya akan segera ke Aceh untuk menjadi penasehat kepala AMM, Pieter Feith. GAM sempat protes keras langsung kepada Ahtisaari yang dianggap bertanggung jawab di dalam penentuan ini, juga GAM mengirimkan surat dengan nada keras kepada kepala AMM Pieter Feith bahwa pengangkatan Juha Christensen sebagai penasehat AMM adalah ‘highly inappropriate’, sangat-sangat tidak pantas.
Setelah damai, Juha kembali ke Aceh dan tetap menjadi penasehat di AMM walau diprotes GAM. Juha pintar mengambil hati. Walaupun kurang akrab dengan perwakilan GAM di AMM dan rekan-rekannya sesama AMM, namun Juha berhasil mengambil hati pucuk pimpinan GAM dan kepala perwakilan GAM di AMM setelah Irwandi Yusuf.
Setelah AMM bubar, Juha tetap wira-wiri di Aceh dan Indonesia. Sempat tidak kelihatan gerak-geriknya selama JK tidak di dalam lingkaran kekuaasan. Ketika JK kembali menjadi wapres, Juha muncul kembali.
Saat ini Juha menjadi general manager sebuah NGO bernama FACTA, juga istrinya menjadi salahsatu pengurus di sana.
Di dalam drama terakhir yang terjadi di Aceh, kepala Badan Intelejen Negara Republik Indonesia mengaku meminta tolong kepada Juha untuk menghubungi sekelompok orang bersenjata di Aceh, padahal sebelumnya Danrem Lilawangsa dan Pangdam Iskandar Muda telah berhasil berhubungan dengan kelompok tersebut.
Tindakan kepala BIN yang membelakangi ulama, tokoh-tokoh Aceh bahkan aparat negara sendiri yaitu kepolisian dan TNI menimbulkan tanda tanya besar bagi masyarakat. Apalagi ada media yang menyebutkan bahwa BIN dibantu oleh ‘Uni Eropa’. Padahal tidak ada referensi yang menyebutkan bahwa Juha Christensen bekerja untuk Uni Eropa. Bahkan badge yang diberikan kepada pimpinan kelompok bersenjata itu, tenyata badge sebuah acara atas nama Juha Christensen yang bertulis tanggal 18 November 2011.
Prof. Damien Kingsbury dan William Nessen yang mempunyai rekam jejak yang jelas kepada perdamaian Aceh, masuk ke dalam daftar cekal pemerintah, sedangkan Juha Christensen yang mungkin menyalahi visa izin tinggalnya di Indonesia karena terlibat aktivitas politik, dielu-elukan sebagai pahlawan oleh badan intelejen negara. [acehfokus.net]