DETIK DETIK PEREMPUAN ACEH MEMILIH DIPERKOSA ATAU DISUNTIK MATI





UALA SIMPANG ULIM di kecamatan: Simpang Ulim, Acheh Timur, beberapa waktu lalu telah hangus dibakar TNI, ratusan rumah penduduk rata dengan tanah juga satu unit rumah sekolah turut dibakar dan puluhan rumah para penjaga tambak ikan.


Pada tanggal 01 November 2002 kawasan tersebut telah menerima kembali ratusan aparat TNI dalam lanjutan operasi militer. Warga masyarakat yang sudah kembali ke gampong tersebut untuk memulai hidup seperti biasanya sebagai nelayan. Dengan membangun gubuk-gubuk kecil sebagai tempat berteduh diatas tapak bekas rumah mereka yang sudah dilalap sijago merah. Gampong tersebut yang dekat dengan pantai dihuni oleh para nelayan, sedangkan yang lainnya membudi daya ikan dan udang di tambak sebagai mata pencaharian.

Operasi militer TNI ke gampong Kuala Simpang Ulim, Kuala Malihan, Aluë Tho dan Luëng Sa, Bantayyan, Luëng Peut dan Madat telah membuat warga masyarakat terpaksa mengungsi untuk mencari tempat selamat. Ribuan personil TNI yang dibantu satu armada yang berlabuh diatas Kuala Simpang Ulim semakin membuat warga merasa ketakutan akan peristiwa yang sudah dialami beberapa waktu lalu. Penggunaan senjata mortal yang ditembakkan dari kenderaan tank dan panser telah merontokkan pohon bakau dipinggir pantai Kuala Simpang Ulim.

Dengan alasan mengejar Anggota TNA yang berlindung di gampong tersebut, TNI menggelar pasukan untuk mengepung kawasan perkampungan penduduk. Tujuh unit boat nelayan telah dirampas dan dijadikan sebaga kenderaan dalam operasi militer. Warga masyarakat yang menyelamatkan diri mencoba mengungsi, namun telah ditahan oleh TNI. Korban belum dapat didata.

Pada tanggal 03 November 2002 sebahagian korban yang sudah dapat di data antara lain pembunuhan Nurdin M Hamid (30) warga Krueng Tho, Simpang Ulim, Acheh Timur dan Jamaluddin (25) Idem.
Penculikan Hanafiah Adam (30) warga Bantayan Simpang Ulim, Acheh Timur; sampai berita ini dilaporkan 04 Nov 2002, korban belum diketahui keberadaannya.
Penganiayaan:

  1. Teungku Min Yahya (38) warga Bantayan Simpang Ulim, Acheh Timur
  2. Jafar Puteh (38) warga Bantayan Simpang Ulim, Acheh Timur
  3. Ibrahim (40) warga Bantayan Simpang Ulim, Acheh Timur .
  4. Hamzah (35) warga Bantayan Simpang Ulim, Acheh Timur .
  5. Samsul Syamsuddin (14) warga Bantayan Simpang Ulim, Acheh Timur
  6. Samsul Yakob (22) warga Bantayan Simpang Ulim, Acheh Timur
  7. Abubakar (31) warga Kuala Simpang Ulim, Acheh Timur
  8. Madni Abbas (40) warga Matang Pudeng, Acheh Timur
  9. Isa Mahmud Ibrahim (22) warga Matang Pudeng, Acheh Timur
  10. Mustafa Amin (25) waraga Matang Rajek

Pelecehan Seksual

PADA TANGGAL 15/08/02, pelecehan seksual dilakukaan oleh TNI Pos BKO Suak Awe, Kaway XVI, korban dipaksa untuk membuka baju, lalu dipaksa berjalan-jalan dan menari di depan umumnama korban Hasnidar (14) warga Suak Awe, Kaway XVI. Acheh Barat.

Pada tanggal 31/08/02, pelaku TNI BKO PTPN Aluë Ië Mirah , Julok. Acheh Timur, Ketika operasi militer dilakukan diperkampungan Aluë Ië Mirah, serdadu sipai memaksa korban untuk tetap berada didalam rumah, perlakuan tersebut terjadi didalam rumah korban yang bernama Ani Ismail (18) pelajar SMU Aluë Ië Mirah Julok, alamat, Idem.

Pada jam 09.00 tanggal 01/09/02 dilakukan pelecehan seksual di pos TNI Yon 125 pos Cot Matahe, Blang Mangat. Kejadian tersebut terjadi ketika para korban melintasi Pos TNI, korban distop dalam sweeping lalu dipaksa masuk kedalam. Sweeping yang selalu dilakukan didepan pos disertai perlakuan yang tidak manusiawi, juga tejadi penganiayaan dan perampasan harta benda, telah membuat warga yang menggunakan jalan tersebut terpaksa mencari jalan lain untuk berpergian.

Nama korban pelecehan seksual
NoNamaUmurJenis kelaminDesaKecamatanKabupaten
1Hafifah Abdullah17WanitaRajek AchehBayuAcheh Utara
2Indah Hayani.M.Ali30WanitaRajek AchehBayuAcheh Utara
3.Nur Malawati25WanitaRajek AchehBayuAcheh Utara
4Rika Yanti Idris30WanitaRajek AchehBayuAcheh Utara
5Sam Syidar Idrisa25WanitaRajek AchehBayuAcheh Utara
6Ambia Hasan18WanitaRajek AchehBayuAcheh Utara
7Habibah Hasyem37WanitaRajek AchehBayuAcheh Utara


Beberapa nama pelaku dari ke satuan Yonif 125/Kodam/BB
NoNamaPangkatTNI/POLRINrpKesatuan/Yonif
1SimbolonTidak diketahuiTNI-ADTidak di ketahui125/Kodam /BB
2Sujoyo. BTidak diketahuiTNI-ADTidak di ketahui125/Kodam /BB
3Ikaro-karoTidak di ketahuiTNI-ADTidak di ketahui125/Kodam /BB
PASCA SERANGAN TNA TERHADAP SIPAI DARI KESATUAN TNI PADA TANGGAL 06/09/02

Operasi penyisiran dilanjutkan satu hari setelah itu, tgl 07/09/02 sekitra jam 10.00, TNI mengumpulkan sejumlah penduduk, lalu mereka ditelanjangi, termasuk laki-laki. Lebih 20 orang mengalami pelecehan seksual, nama-nam korban diantaranya:
Pelecehan sexual oleh TNI-AD Yonif 125/Kodam/BB, Bayen Acheh Timur
NoNamaUmurJenis kelaminDesaKecamataKabupaten
1Latifah nurdin22WanitaMatang NibongBayenAcheh timur
2Hasanah daud30WanitaMatang NibongBayenAcheh timur
3Aisyah aswah25WanitaMatang NibongBayenAcheh utara
4Ani Thaleb50WanitaMatang NibongBayenAcheh Utara
5Halimah Usman45WanitaMatang NibongBayenAcheh Utara
6Basri daud27Laki-lakiMatang NibongBayenAcheh Utara
Tanggal 20/09/02. Pelaku: TNI BKO P.T.P.N Alue Ië Mirah, Julok, Acheh Timur. Nama korban: Nurhayati (20) warga Neh Sa Alue Ië Mirah, Julok.

Korban dipaksa untuk melepaskan baju, lalu disuruh menari-nari didepan masyarakat dan Serdadu menonton sambil tertawa-tawa.
Pada tanggal 15 September 2002 sekira jam 10.00 sekira pukul 10.00 WA, datang Sekdes Birem Bayeun, ke rumah korban yang bernama Rohani (31) ikut suami, warga Birem Bayeun, Acheh Timur
Beliau mengatakan bahwa Ibu Rohani disuruh menghadap ke Pos TNI BKO Kantor Camat Birem Bayeun. Korban berangkat sekira pukul 10.30 bersama dengan seorang teman nya yang bernama: Azmi (45) dan ikut dibawa anaknya yang bernama: Nur Asima (3). Korban dan temannya (Azmi) tiba di Pos TNI BKO Kantor Camat Birem Bayeun sekira pukul 10.45, lalu disuruh menghadap masuk kedalam ruangan pemeriksaan. Kemudian korban masuk kedalam ruangan pemeriksaan setelah menitipkan anaknya pada ibu Azmi yang duduk menunngu diluar ruang pemeriksaan.




Dalam ruangan pemeriksaan korban mengenal 3 dari 4 orang pemeriksa, yaitu:
Nama TNI-AD yang melakukan pelecehan sexual terhadap (ROHANI) Bireum bayen Kabupeten Acheh Timur
NoNamaPangkatTNI/POLRINrpKesatuan/Yonif
1Pak GintingTidak diketahuiTNI-ADTidak diketahuiTidak diketahui
2Pak DoyokTidak diketahuiTNI-ADTidak diketahuiTidak diketahui
Menurut keterangan yang diterima dari masyarakat bahwa: diantara TNI yang bertugas di pos tersebut terdapat anggota yang pernah bertugas di Rumoh Geudong pada masa DOM)

Korban mulai ditanya mengenai suaminya yang bernama: Syamsuddin (58) yang dituduh terlibat GAM. korban tidak mengetahui dimana keberadaan dan keterlibatan suaminya dengan GAM. Karena korban tidak menjawab dan tidak mengakuinya juga, maka pakaian korban dipaksa buka sehingga bugil, dan serta merta menerima pukulan dengan kayu dan beberapa kali tamparan kuat pada muka.

Setela itu korban dipaksa tidur dilantai dalam keadaan telanjang, sedangkan 4 orang pemeriksa mengancam akan memperkosa korban, lalu meraka meraba-raba tubuh korban. Serdadu yang memeriksa korban memberi 2 (dua) pilihan yaitu: memilih disuntik mati atau memilih diperkosa. Korban menjawab: lebih baik disuntik mati saja. Banyak pertanyaan yang tidak diketahui yang diajukan oleh pemeriksa tidak dijawab oleh korban, setiap pertanyaan diawali dengan pukulan dan tamparan; dan disertai ancaman akan diperkosa yang diawali dengan meraba-raba tubuh korban sampai akhir pemeriksaan. Selama pemeriksaan korban tidak dibenarkan menegenakan pakaian, terus dalam keadaan bugil.

Karena tidak tahan atas perlakuan yang diderita, korban terpaksa mengaku apapun yang dituduhkan kepadanya dan suami. Dalam masa pemeriksaan tersebut, kemaluan korban dimasukkan gagang sapu dan gagang senter. Banyak kata-kata kotor yang diucapkan kepada korban saat diperiksa. Setelah itu korban dipaksa bangun untuk menungging, lalu difoto dan juga disuruh mengangkang untuk difoto berulang kali. Sekira pukul 15.00 korban disuruh memakai baju, kemudian disuruh masuk ke dalam ruangan gelap. Pada ketika itu terdengar jeritan orang didalam ruang pemeriksaan.

Pada tanggal 15 September 2002 sekira jam 10.00 sekira pukul 10.00 WA, datang Sekdes Birem Bayeun, ke rumah korban yang bernama Azmi (45) ikut suami, warga Birem Bayeun, Acheh Timur.

Beliau mengatakan bahwa Ibu Rohani disuruh menghadap ke Pos TNI BKO Kantor Camat Birem Bayeun. Korban berangkat sekira pukul 10.30 bersama dengan seorang teman nya yang bernama: Rohani (31) yang juga ikut membawa anaknya yang bernama: Nur Asima (3). Korban dan temannya (Rohani) tiba di Pos TNI BKO Kantor Camat Birem Bayeun sekira pukul 10.45.

Korban masuk kedalam ruangan pemeriksaan setelah korban Rohani siap diperiksa sekira jam 14.00. Dalam ruangan pemeriksaan korban mengenal 3 dari 4 orang pemeriksa, yaitu: Pak Ginting, Pak Doyok dan Pak Danil.

Dalam operasi militer yang mulai tanggal 20/09/02 oleh TNI BKO Yon 327 Pos Mane, Geumpang. Pidie. TNI Yon 327 dibantu Oleh Kopassus pos Pinto Sa, telah terjadi pemerkosaan terhadap 4 gadis warga gampong Mane, Geumpang pada tanggal 22/09/02 di dalam rumah.
Nama korban
NoNamaUmurJenis kelaminDesaKecamataKabupaten
1Liza M. Amin18WanitaManeGeumpangPidie
2Fatimah Syamaun21WanitaManeGeumpangPidie
3Murni bugeh18WanitaManeGeumpangPidie
4Marina Bugeh18WanitaManeGempangPidie

Syariat Islam Bukan Keinginan Rakyat Aceh

Jakarta:Perdana Menteri Gerakan Aceh Merdeka Malik Mahmud Al Haytar menyatakan penerapan syariat Islam bukanlah yang diharapkan masyarakarat Aceh.

“Yang diinginkan adalah adanya situasi yang damai dan plural bagi masyarakat Aceh,” kata Malik kepada wartawan setelah berbicara dalam Konferensi Internasional peringatan satu tahun perjanjian perdamaian Aceh di Hotel Shangri-la Jakarta, Senin malam ini.

Menurut Malik, perjuangan GAM tidak didasarkan atas agama, dan sikap itu tetap dipertahankan sampai sekarang. Terhadap apa yang terjadi di Aceh atau diperlakukan di Aceh saat ini itu sama sekali bukan datang dari GAM. “Saya rasa dari rakyat Aceh seluruhnya itu bukan hal yang diinginkan,” ujar Malik.

Malik menambahkan, dalam sejarah Islam di Aceh , Islam di Aceh adalah Islam tradisional. “Islam adalah agama yang telah lama ada di Aceh, Islam yang dianut masyarakat Aceh adalah Islam tradisional,” kata Malik. 

Malik menyatakan baru kali ini mendengar ada hukum cambuk di Aceh. Malik yakin itu bukanlah tradisi Islam di Aceh.

Hormati Seruan Mogok, Bus Tidak Beroperasi, TNI GILA BABI ...

JAN 17, 2002 (AIC) —— Seruan mogok pada hari pertama (16/1) dari tiga hari yang direncanakan berlangsung sukses. Manakala Bus angkutan penumpang umum antar daerah jurusan Timur dan Barat Acheh, Rabu, tidak beroperasi, menyusul adanya imbauan mogok dari Gerakan Acheh Merdeka (GAM) selama tiga hari mulai 16 hingga 18 Januari 2002.





BERDASARKAN  pemantauan koresponden AIC di sejumlah terminal, bus AKAP (antar-kabupaten dan antar-provinsi) di Banda Acheh tampak sepi. Tidak ada satu bus pun yang berangkat atau sebaliknya. Meski pihak aparat TNI/Polri sudah mengimbau perusahaan bus tetap beroperasi, namun tidak satu pun yang menjalankan armadanya. Suasana di terminal tampak sepi, hanya satu dua kendaraan yang parkir. Itu pun bus yang baru tiba Selasa (15/1) malam. Para perusahaan angkutan tidak mau mengambil resiko untuk beroperasi sejak kemarin hingga dua hari berikutnya, karena tidak ada jaminan keamanan bagi mereka.
Perusahaan angkutan AKAP tidak beroperasi, karena sejak Selasa lalu tidak ada calon penumpang yang memesan tiket. Bahkan ada beberapa calon penumpang yang telah memesan tiket untuk tiga hari itu, minta dibatalkan.

"Sebenarnya kami bersedia beroperasi sesuai imbauan aparat, tapi karena tidak ada penumpang yang pesan tiket, kan tidak mungkin kita beroperasi," kata salah seorang pengusaha bus yang tidak bersedia disebut namanya.

Sebelumnya, para sopir bus angkutan AKAP mengaku sedang menunggu perintah dari pemilik armada untuk beroperasi.

"Kami sedang menunggu perintah toke armada. Kami operasi atau tidak, menyusul adanya seruan mogok dari pihak GAM selama tiga hari," kata para sopir bus saat ditemui di terminal Seutui, Kota Banda Acheh.
Salah seorang sopir yang minta namanya tidak ditulis dengan alasan keamanan, mengatakan, nasib mereka ibarat boh limeng leumiek (buah belimbing masak-Red) yakni terjepit di antara dua bungkahan batu.
"Artinya, beroperasi atau tidak pada hari itu, risikonya sama. Kami sangat khawatir, jika menjalankan armada tempat kami mencari rezeki tiba-tiba dibakar," jelas para sopir.

Meski ada jaminan keamanan, namun kekhawatiran sopir masih tinggi. "Sejauh mana aparat bisa mengawal jalan raya Banda Acheh-Medan (Sumut) begitu panjang mencapai 450 kilometer," kata mereka.

Perdagangan Lumpuh

Sejumlah pusat perdagangan dan perbelanjaan yang ada di Banda Acheh, Rabu, terlihat lumpuh total dan sepi konsumen, menyusul adanya imbauan mogok selama tiga hari berturut-turut mulai 16 hingga 18 Januari 2002.

Menurut pantauan Antara di Banda Acheh, Rabu, semua pusat perdagangan, seperti Pasar Setui, Peunayong, dan Pasar Acheh, tutup, sehingga tidak ada transaksi jual beli.
Syukri, seorang penjual warung kopi di kawasan Jambo Tape, Banda Acheh mengatakan, biasanya setiap pagi sudah ramai orang yang hendak minum kopi di warungnya, tetapi hingga saat ini tidak satupun konsumen yang datang untuk minum kopi.

Sejumlah pertokoan dan kios kecil juga terlihat tutup, konsumen di kawasan itu sangat lengang dari lalu lalang, sedangkan pusat pertokoan itu hanya tampak dijaga oleh aparat yang berpatroli.
Keadaan mogok yang berlangsung dari 16-18 Januari 2002, banyak dari pedagang mengaku akan membuka tokonya apabila situasinya kembali normal, dan konsumen banyak yang membeli kebutuhannya seperti pada hari-hari sebelumnya.

Beberapa hari lalu pihak Panglima Tentra Acheh-ASNLF Komando Pusat Tiro, Yang Mulia Tgk. Abdullah Syafie mengimbau masyarakat untuk melakukan mogok total melalui Jurubicara Militer ASNLF Tgk. Sofyan Daud. Pemogokan ini dikecualikan bagi mereka yang bekerja di tempat-tempat vital (awam) seperti rumah sakit, PMI, PLN.

Anjuran serupa beberapa waktu sebelumnya juga diikuti masyarakat karena kebersamaan yang telah terjalin akibat penderitaan yang sama, meskipun ditengah ancaman teror yang dijalankan militer Indon. Ini suatu pertanda bahwa rakyat Acheh masih cinta dengan perjuangan kemerdekaan.

Kutaradja sepi, seruan NAD tak didengar rakyat

         Menjelang petang, Rabu (16/1), warga Banda Acheh mulai berani keluar dengan menggunakan kendaraan pribadi dan beraktivitas. Kendati demikian, keadaan Kota Acheh belum kembali normal sepenuhnya. Sejak pagi, hampir seluruh warga Kota Serambi Mekah ini tidak melakukan aktivitas seperti biasanya. Pemogokan massal terjadi, menyusul seruan Panglima Perang Gerakan Acheh Merdeka Tengku Abdullah Syafei untuk mogok mulai 16 hingga 18 Januari mendatang. Sebagian masyarakat Nanggroe Acheh Darussalam tak menghiraukan permintaan DPRD setempat supaya tidak ikut-ikutan mogok.
Kepolisian setempat mengantisipasi aksi pemogokan ini dengan mengoperasikan angkutan-angkutan umum. Sebagian pedagang di pasar tradisional Pasar Acheh tetap berjualan, tapi tentu saja tak ada pembelinya.


Sebagian besar warga di Acheh memilih untuk berdiam di rumah menyusul seruan mogok massal oleh Gerakan Acheh Merdeka pada 16 hingga 18 Januari mendatang. Akibatnya, situasi lalu lintas sepi karena mayoritas angkutan umum tak beroperasi. Selain itu, sekolah-sekolah terpaksa tutup karena banyak murid dan guru absen. Situasi lengang ditambah mayoritas toko dan swalayan yang tutup.
Tapi tidak demikian dengan beberapa kantor pemerintah, seperti Kantor Pajak dan Kantor Bank Pembangunan Daerah. Kedua kantor tadi tetap buka, meski banyak pegawai yang tak masuk. Demikian pemantauan SCTV, di Acheh, Rabu (16/1) pagi. Para pegawa indon terpaksa masuk kerja karena tempat kerjanya diawasi militer dan polis indon untuk mendata pegawai yang mogok.
Menjelang siang hari, beberapa anggota masyarakat mulai berani beraktivitas di luar rumah meski hanya menggunakan sepeda motor. Beberapa angkutan bus sekolah dan mahasiswa seperti DAMRI dan bus bantuan Pertamina pun mulai mengangkut penumpang. Namun, para sopir dan kondektur bus adalah anggota Dinas Lalu Lintas Kepolisian indon.
Dua hari sebelumnya, Gubernur Indon di Acheh Abdullah Puteh meminta rakyat tak mempedulikan ajakan mogok massal GAM.
Selain Puteh, pernyataan sikap serupa juga diserukan Kepala ketua polis Indon di Acheh Polisi Manggabarani, Panglima Komando Lapangan Operasi Brigadir Jenderal TNI Djali Yusuf, Kepala Kejaksaan Tinggi Sunaryo, dan Wakil Ketua DPRD Acheh Teuku Bachrum.
Dengan berhasilnya pelaksanaan mogok tersebut, maka terbukti bahwa pemerintah NAD tak mendapat tempat di hati rakyat Acheh.

Militer Indon sita SIM & STNK supir angkutan awam

Sehari menjelang aksi mogok umum penolakan pembentukan KODAM I Iskandar Muda, aparat keamanan melakukan penyitaan SIM (driver license) supir angkutan kota. Salah seorang masyarakat yang tak ingin disebut namanya melaporkan sejak pukul 10:00 WIB, aparat menahan SIM supir labi-labi di lintasan Banda Acheh-Lhok’nga. Penyitaan juga berlangsung di Lam Ateuk-Acheh Besar Selasa (15/1/2002). 
"Aparat keamanan memerintahkan para supir labi-labi untuk mengambil SIM yang telah disita di pos-pos terdekat, kalau tidak, aparat bilang mobilnya akan dibakar dan orangnya akan ‘diambil’ di rumah," jelasnya sedikit gentar. 
Sementara itu dilaporkan penyitaan STNK (lesen kereta) juga berlangsung di Blang Pidie, Tapak Tuan, dan Meulaboh, serta di terminal Simpang Pasee-Acheh utara.

Bom meledak, TNI ancam pemilik toko

Masyarakat Kuta Puntet Kecamatan Blang Mangat siang tadi dikejutkan dengan ledakan bom aparat Keamanan, sesaat usai penyisiran. Peristiwa yang terjadi Selasa (15/1/2002) pukul 21.45 WIB itu dilaporkan Posko Pemantauan Mogok Massal (PPMM) Acheh Utara tidak ada korban yang jatuh. 
Masih menurut laporan PPMM Acheh Utara, sekitar 50-an aparat keamanan melakukan penyisiran dan mengasari warga Geudong yang hanya berjarak 10 km dari lokasi peledakan. Hingga berita ini diturunkan belum diperoleh laporan berapa korban yang jatuh di pihak masyarakat sipil pasca penyisiran. 
Sementara itu, di desa Kandang kecamatan Muara Dua juga dilaporkan aparat TNI/Polri melepaskan rentetan tembakan ke udara pada pukul 23.30 WIB. Diduga, rentetan tembakan itu merupakan shock therapy terhadap masyarakat berkaitan usaha penggagalan mogok massal menolak Kodam di Acheh.
TNI/Polri meledakkan sebuah bom sekitar pukul 19:20 WIB di sebuah lahan kosong dan diikuti dengan tembakan manuver ke segala penjuru di kecamatan Samudera Geudong, Demikian laporan Posko Pemantauan Mogok Massal Acheh Utara kepada FPDRA, Selasa (15/1/2001). 
Peledakan bom yang disertai dengan tembakan manuver tersebut membuat masyarakat di kecamatan Samudera Geudong menjadi ketakutan. Pasalnya peledakan tersebut terjadi setelah shalat maghrib selesai, sehingga masyarakat yang baru pulang dari masjid terpaksa lari terbirit-birit pulang ke rumah. 
Sementara itu, menurut salah seorang warga yang enggan namanya diberitakan. TNI/Polri gabungan dari pos Koramil dan Polsek Samudera Geudong sebelumnya telah mengancam pemilik toko untuk membuka tokonya. 

"TNI/Polri sore tadi mendatangi toko-toko dipasar kecamatan, dan mengancam agar toko besok tetap dibuka. Dan barang siapa yang tidak membuka tokonya, maka barang di tokonya akan diambil aparat dan pemilik toko akan ditangkap," aku warga tersebut kepada relawan posko di sana.
Disebut-sebut, kedua aksi mencekamkan masyarakat itu erat kaitannya dengan usaha TNI/Polri untuk menggagalkan mogok massal rakyat Acheh menolak Kodam.

Spanduk Tolak KODAM Milik Mahasiswa Diturunkan Militer

Aparat keamanan dengan mengenderai mobil Taft dan Kijang warna biru dongker plat BK 122 AA menurunkan dan mengambil spanduk-spanduk yang bertuliskan tentang penolakan KODAM di Acheh yang digelar mahasiswa di Kota Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma) Darussalam Banda Acheh. Demikian dilaporkan Rahmat, Ketua Komite Dewan Kampus (KDK) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dan Hidayat, Ketua KDK IAIN Ar-Raniry. 

Kedua spanduk yang dibentangkan di kampus Unsyiah dan IAIN Ar-Raniry itu diturunkan aparat pada pukul 23.30 WIB, Rabu (16/01/2001) kemarin. Menurut Hidayat, penurunan dan pengambilan spanduk oleh aparat militer ini merupakan bentuk sabotase yang bersifat provokasi untuk menggagalkan aksi Mogok Massal rakyat Acheh menolak KODAM. 

"Usaha penggagalan aksi mogok massal rakyat Acheh menolak KODAM melalui pola-pola represif ini merupakan ekspresi kepanikan pemerintah RI yang diwakili Pemda Acheh dan Militer. Andai saja mereka berusaha menggagalkan aksi ini secara demokratis seperti yang kami lakukan, kami bisa memahami dan menghargainya. Tapi ini tidak, mereka memang sebuah pemerintahan yang despotik dan otoriter," ujar Hidayat. 
Rahmat, Ketua KDK Unsyiah yang dihubungi FPDRA News secara terpisah menyebutkan bahwa perampasan spanduk Tolak Kodam itu merupakan wujud kekalahan pemerintahan RI untuk merebut pengaruhnya di hati rakyat Acheh secara damai.

Karena itu, kata Rahmat, pemerintah RI melakukan tindakan-tindakan represif. "Kami mengutuk perampasan spanduk Tolak Kodam itu dan segala bentuk tindak represif militer terhadap mahasiswa dan rakyat Acheh," tegas Rahmat. 

Spanduk yang dirampas aparat keamanan itu bertulis di Unsyiah "Jangan Terima Militer Dalam Bentuk Apapun Apalagi Kodam," dan "Tolak Kodam" di kampus IAIN.

Malek Mahmud; Wali Nanggroe atau Vampire Penghisap Darah ??


Siapa (seharusnya) Sang Wali?

1) Garis Keturunan Kesultanan Aceh? sebagai pewaris sah kesultanan Aceh sekaligus ketua Madjelis Tuha Peut yang merupakan Madjelis tertinggi dalam Kesultanan Aceh.

ATAUKAH

2) Hasil Rapat Internal/Tertutup GAM di Stavanger, Norwegia 2002 yang menunjuk Hasan Tiro (Pimpinan Rapat) sebagai Wali Nanggroe dan Malek Mahmud sebagai Pemangku Wali.









Sedikit uraian tentang Malek Mahmud

Malek Mahmud adalah warga negara Singapura saat ditetapkan sebagai Pemangku Wali Nanggroe 10 tahun lalu, demikian pula halnya dengan Hasan Tiro yang warga Negara Swedia. Namun berbeda dengan Hasan Tiro, Malek Mahmud tidak mengalami masa-masa kecilnya di Aceh, demikian juga halnya dengan saudara dan keluarganya yang lebih lama tinggal di Singapura daripada hidup di Aceh. Pun demikian pada masa konflik, dimana Malek Mahmud berada di Swedia bersama Hasan Tiro. Berangkat dari pemahaman ini, Malek Mahmud sangat jelas “tidak dekat” dengan budaya dan adat istiadat Aceh apalagi sejarah Aceh. Keadaan di atas menyebabkan Malek Mahmud tidak dikenal di kalangan masyarakat adat Aceh, ia memang sangat dikenal di kalangan GAM atau KPA/PA sebagai Perdana Menteri GAM namun bukankah Aceh bukan milik mantan kombatan GAM semata? bagaimana dapat diterima oleh masyarakat Aceh jika dikenal pun tidak?

Lembaga Wali Nanggroe

Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, bahasa dan pemberian gelar gelar dan derajat atau upacara-upacara adat lainnya. Secara harfiah dapat kita pahami bahwa lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat.

Sebagaimana diketahui, setidaknya terdapat 3 kepemimpinan dalam kehidupan masyarakat Aceh selama ini, yaitu;

1) Kepemimpinan politik,

2) Kepemimpinan agama,

3) Kepemimpinan adat.

Maka dengan penegasan sebagai seorang “Pemimpin Adat”, kedudukan sang Wali Nanggroe sebenarnya sudah cukup jelas yang dengan Sikap dan Sifat yang “independen”, maka lembaga tersebut dan pemangku “Wali Nanggroe” berada di luar jalur politik bukan dalam lingkaran Partai Politik.

Namun apa yang terjadi? dalam Raqan LWN terdapat sejumlah poin memberikan hak-hak prerogatif kepada Wali Nanggroe antara lain, menguasai semua kekayaan (boinah) Aceh di dalam dan di luar Nanggroe, Memberhentikan/Menon-aktifkan Gubernur (eksekutif), Membubarkan parlemen (legislatif), Memberlakukan keadaan darurat, Memberi gelar (Teungku, Tuanku, Teuku dan lain-lain) kepada siapa dikehendaki dan lain-lain. Inilah pasal-pasal, yang menurut banyak pihak, bertabrakan langsung dengan UUPA itu sendiri dan melanggar konstitusi RI.

Saya pernah membaca sebuah tulisan dari seorang warga Aceh yang berada di Stockholm, Swedia. pernah menulis mengenai Rancangan Undang Undang Pemerintah Aceh yang berkenaan dengan Lembaga Wali Nanggroe yang kini (entah bagaimana bisa) di pangku oleh Malek Mahmud sang mantan Perdana Menteri GAM, padahal ia sama sekali bukan berasal dari kalangan Ulee Balang ataupun Tuha Peut yang memang berpangkat sebagai Wali Adat di dalam sistem tata adat masyarakat Aceh sejak jaman dahulu.

Kriteria Wali Nanggroe

Dalam pasal 15 draft Raqan Wali Nanggroe 2010, ada 19 kriteria yang ditetapkan, di antara lain: beragama Islam, dari keturunan yang baik dan keturunan wali-wali sebelumnya, tidak dzalim, alim, arif, amanah, terpelihara dari hawa nafsu jahat, menguasai bahasa asing dengan lancar, paling kurang bahasa Arab dan Inggris dan lain sebagainya.

Kriteria di atas mengingatkan saya pada tulisan Yusuf Daud seorang warga Aceh yang tinggal di Stockholm, Swedia, yang becerita pada sebuah peristiwa yang terjadi di Stockholm, Swedia.

Pada awal tahun 1992 dalam pertemuan rutin dengan almarhum Teungku Hasan di Tiro di sebuah rumah. Kala itu, pemikiran Wali berkecamuk karena tragedi-tragedi kemanusian di nanggroe dan persoalan lain. Seorang kawan yang galak (suka dimarah-marah) melemparkan pertanyaan kepada wali: siapa kira-kira penggantinya kalau sewaktu-waktu beliau ditakdirkan meninggal dunia. Secara emosional wali menjawabnya:

“Tidak ada, tidak ada”.

Kawan saya ini tidak mau kalah dan mengorek lagi:

“Mungkin pengganti wali nanti ada di sini atau di Malaysia?”

“Ah…tidak. Tidak ada di sini dan tidak ada di Malaysia.” jawabnya spontan.

Semua terdiam sejenak. Kemudian, Wali membeberkan panjang lebar kriteria pengganti beliau. Menurut beliau, wali nanggroe harus dari kalangan ulama, bisa berbahasa Arab dan Inggris, sanggup memberi tafsir al-Quran dan menulis buku.



Harus dari kalangan intelektual yang paham ilmu tata negara, hubungan internasional dan etiket pergaulan antarabangsa. Dalam hal ini, Wali menyebut nama intelektual Iran Dr Ali Syariati, sebagai tipe seorang intelektual Islam yang ia kagumi dan sangat paham dengan cara berfikir orang Barat. Wali menyebutkan beberapa ulama besar Iran seperti Ayatullah Murtada Mutahhari dan lain-lain.

Secara langsung, Wali tidak pernah menyebut penggantinya harus dari keluarga di Tiro. Yang lebih utama lagi, Wali mengatakan suksesornya ada di Aceh bukan anak tunggalnya Karim di Amerika. Kami hanya bisa meraba, yang dimaksud itu adalah Tengku Darul Kamal (alm) yang juga seorang keluarga di Tiro sebelah perempuan. Sinyal ini sudah tercium semasa Tengku Darul Kamal bergerilya di hutan.

Kriteria yang Hasan Tiro maksudkan itu adalah untuk seorang Wali Negara (kepala Negara) yang merdeka dan berdaulat bukan wali nanggroe sebagai pemimpin tertinggi adat di salah satu propinsi di Indonesia, sebagaimana yang diamanatkan UUPA.

Walaupun Qanun LWN masih dalam proses, kriteria kandidat wali telah mulai disuarakan, seperti yang dinyatakan Irwandi Yusuf disela-sela peletakan batu pertama Meuligoe Wali Nanggroe, di mana ia mengatakan bahwa calon wali nanggroe haruslah orang yang bisa mengenal Aceh secara lengkap, tidak sepenggal-sepenggal.

Apapun bentuk hasil akhir Qanun LWN yang akan disahkan, kriteria Wali Nanggroe harus seorang yang sangat bijak dan berwibawa, mengenal dan dikenal luas masyarakat, tidak berpihak atau independen, memiliki latar-belakang yang bersih, bukan eks kriminal, memiliki ilmu pengetahuan agama Islam dan pengetahuan umum yang memadai dan sebagainya. Kriteria pemimpin tertinggi adat menurut standar Aceh paling kurang bisa membaca Quran dengan fasih (bukan qari), menjadi imam shalat berjamaah atau khatib Jumat, kalau ada permintaan, bisa membaca doa selamat untuk keperluan apa saja.

Nah, siapa bisa mengkaji kalau calon wali nanggroe yang diusul Komisi A dalam draft raqannya memenuhi syarat dan kriteria yang mereka buat sendiri dan yang saya sebut di atas tadi?

Terlepas dari itu, untuk merumuskan Raqan Wali Nanggroe harus ditinjau dari segala aspek, supaya tidak bertabrakan dengan nilai-nilai Syariah, HAM, demokrasi dan norma-norma lain yang dianut masyarakat Aceh sekarang.

Memanipulasi Sejarah Aceh

beberapa tahun lalu jauh sebelum hiruk-pikuk ini terjadi, anggota Komite Peralihan Aceh (KPA) dan Partai Aceh (PA) sudah mencalonkan kandidat Wali Nanggroe dari kelompoknya sendiri dan sudah siap pakai. Pada bagian keenam, pasal 14, ayat ke satu, Tengku Hasan Tiro disebut sebagai Wali Nanggroe Aceh kedelapan.

Pertanyaan: di manakah mereka mengambil referensinya? Sedangkan dalam buku-buku yang ditulis oleh Hasan Tiro di antaranya, ACHEH NEW BIRTH OF FREEDOM, yang diterbitkan oleh parlemen Inggris House of Lords, satu Mei, 1992, dalam appendix II, nama Tengku Hasan termaktub sebagai penguasa (ruler) Aceh yang ke 41 yang dimulai pada Sultan Ali Mughayat Syah (1500-1530) sampai kepada dirinya (1976-2010).

Apa yang menjadi pijakan tim perumus ketika menempatkan Tengku Hasan di Tiro sebagai raja Aceh ke delapan yang dimulai dari Tgk Syeh Muhammad Saman di Tiro sebagai raja Aceh pertama dan diakhiri oleh cicitnya Tengku Hasan di Tiro. Mereka ingin menghidupkan kembali dinasti di Tiro dengan memangkas semua raja-raja yang terdahulu, mulai dari Sultan Ali Mughayat Syah (1500-1530) sampai kepada Sultan Muhammad Dawud Syah (1874-1903). Ini merupakan sebuah tindakan Coup D’Etat ke atas sejarah Aceh.

Dalam pasal yang sama, ayat kedua disebutkan Malek Mahmud sebagai perdana menteri dalam rapat sigom donya di Stavanger, Norwegia pada 2 Juli 2002, otomatis dapat menggantikan kedudukan Hasan Tiro sebagai pemangku jabatan wali nanggroe ketika beliau meninggal.

Pertama, Rapat tertutup intern GAM di Stavanger pada 2 Juli 2002 yang dihadiri oleh sebagian masyarakat Aceh di perantauan, khususnya dari Denmark dan Norwegia, tidak bisa dibuktikan validitasnya. Kedua, pelantikan Malek Mahmud (MM) sebagai perdana menteri hanya mengada-ada dan perlu dibuktikan. Ketiga, kedudukan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan tidak bisa menggantikan kedudukan Wali Neugara sebagai kepala Negara walau dalam keadaan darurat sekalipun.

Ketika Carl XIII menggantikan kemenakannya sebagai Raja Swedia pada tahun 1809, dia tidak memiliki keturunan. Dan satu-satunya anak angkatnya, putra mahkota Kristian August mangkat pada tahun 1810. Swedia memerlukan putra mahkota yang baru untuk menggantikan Raja Carl VIII setelah ia mangkat. Kerajaan bermusyawarah dan akhirnya mengirim utusan ke Perancis untuk menawarkan kedudukan tersebut kepada salah seorang marsekal Perancis Bernadotte yang paling dekat hubungan keluarga dengan Kaisar Napoleon.

Pada tanggal 21 Agustus 1810 Parlemen Swedia (Riksdag of the Estates) memilih Jean Baptiste Bernadotte sebagai putra mahkota Sweden. Dan putra mahkota baru ini dinobatkan sebagai Carl Johan. Jadi, sejak 1818 Swedia diperintah oleh keturunan Barnadotte termasuk juga Norway antara 1818 dan 1905, ketika negara ini masih bersatu (union) dengan Swedia.

Besar kemungkinan Malek Mahmud (MM) pernah membaca silsilah raja-raja Swedia ketika duduk-duduk di kedai kebab Turki di Swedia dan terinspirasi dengan kejadian tersebut. Untuk menjadi seorang raja tidak harus dari keturunan raja-raja. Mungkin juga terinspirasi ala Menteri Luar Negeri Aceh Habib Abdurrahman Zahir mempenetrasi inner circle kerajaaan Aceh dalam masa singkat dengan mendekati dan mengontrol Ulee Balang yang dipercayai Sultan sehingga dia pun mendapat kepercayaan Sultan.

Kenyataannya, Malek Mahmud menggunakan metode yang sama dan malah jauh lebih sadis. Mula-mula menguatkan posisi keurabeuek setelah Hasan Tiro kena stroke pada Mai 1997, kemudian mengambil alih kekuasan perlahan-lahan dan akhirnya semua keurabeuek berada dalam genggamannya sampai-sampai darah biru milik endatunya yang suci itu disuntik ke dalam tubuh Malik Mahmud. Sebagian keurabeuëk yang terlanjur mempercayainya dan memprotes akhirnya disingkirkan.

Harkat dan Martabat dalam 50 Miliar uang Rakyat

Muhammad Zaini, Gubernur Aceh menilai anggaran 50 Miliar untuk biaya Seremoni Pelantikan sang Wali Nanggroe, Malek Mahmud tersebut adalah wajar, untuk meningkatkan harkat dan martabat Wali Nanggroe. Pengalokasian anggaran daerah sebesar Rp50 miliar dalam rangka pengukuhan Wali Nanggroe pada Desember 2013 mendatang, terlalu besar, jika melihat masih banyaknya kebutuhan rakyat Aceh saat ini yang provinsinya termasuk diurutan ketiga termiskin di Indonesia setelah Papua dan NTT. Pengusulan anggaran Rp 50 miliar oleh DPR Aceh tersebut, tidak rasional dan tidak masuk akal. Sebab anggaran Rp 50 miliar tidak substansi dan tidak mempunyai dampak dari anggaran itu sendiri. Angka Rp 50 miliar seperti itu sangat besar bagi DPR Aceh. Harusnya wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat Aceh tersebut bisa lebih bijaksana dan pintar dalam mengatur dan mengusulkan anggaran yang notabane berasal dari uang rakyat. Jika saja Rp 50 Miliar itu dialihkan untuk program kesejahteraan rakyat Aceh itu akan sangat membantu. Selain itu, anggaran itu lebih penting jika didorong untuk membantu masyarakat di daerah bencana dan pulau terpencil di Provinsi Aceh seperti membangun sekolah dasar dan Rumah Kaum Dhuafa.

“Mau dibawa kemana Aceh sekarang jikalau orang yang diharapkan sebagai sosok pemersatu bukanlah orang baik yang diharapkan oleh rakyat Aceh? Bukankah Aceh ini milik kita semua? bukan hanya milik suatu kelompok ataupun partai? Jika memang benar untuk semua, lalu mengapa rapat di Stavanger Norwegia 10 tahun lalu dijadikan landasan yang sangat kuat sehingga seolah-olah “mewakili” seluruh rakyat Aceh? bukankah itu rapat internal GAM? dibanding 4 juta rakyat Aceh berapa persen jumlah GAM saat itu? Situasi dan keadaan Aceh akan semakin membingungkan di tengah 18% rakyat Aceh masih hidup di bawah garis kemiskinan, ratusan ribu pengangguran yang belum memperoleh lapangan pekerjaan dan ratusan ribu lainnya masih menderita akibat korban sisa konflik. Adakah Qanun Wali Nanggroe ini dapat merubah angka-angka itu? ataukah hanya beralasan “itu tugas pemerintah Aceh?” kalau begitu Qanun Wali Nanggroe untuk apa dan siapa?” ­– Azada Addin

Maka kini, yang sangat di sesalkan oleh rakyat Aceh adalah pemimpin yang mereka pilih dari tatanan pemilihan umum yang demokrasi dirusak oleh yang mereka pilih tersebut lalu menghambur-hamburkan uang rakyat hanya untuk sekedar seremoni pengukuhan seorang Pemangku Adat dalam Masyarakat Aceh.

Rp 50 Miliar dapat membangun ribuan sekolah dan membuka ratusan lapangan pekerjaan bagi pengangguran di Aceh, bukan untuk di foya-foyakan sebagai nafsu yang mereka sebut sebagai “Harkat dan Martabat.”

Aceh ku malang, Aceh ku sayang.