Dalam budaya keluarga Aceh umumnya, Al Qur an adalah hal pertama yang dipelajari oleh seorang anak sebelum mereka mendapatkan pelajaran umum di sekolah. Para ibu sering melantunkan ayat suci Al Quran pada saat meninabobokkan puta-putri mereka. Karena pentingnya pendidikan Al Quran bagi seorang anak, maka para orang tuapun merasa berkewajiban mengantarkan mereka ke tempat penyelengaraan pengajaran Al Quran baik ke balai, dayah, meunasah, mesjid, ataupun mendatangkan para guru ngaji ke rumah.
Pada masa kecil saya dulu, pengajaran Al Quran bagi anak-anak menggunakan metode Bagdadiyah atau ada pula yang menyebutnya Alifba, Quran Ubit, dsb. Selain mengaji di rumah bersama orang tua, di masa itu anak-anak yang sudah mencapai usia lima atau enam tahun akan diantar ke tempat pengajian oleh orang tua mereka. Lazimnya pengajian kala itu ada yang di meunasah, di rumah tengku atau orang -orang yang punya inisiatif untuk mengajarkan Al Quran bagi anak-anak di sekitarnya.
Semua murid pengajian akan mendapatkan pengajaran Al Quran serta hafalan surat-surat pendek dan doa-doa sehari-hari. Pengajian dilaksanakan setiap hari dan berakhir pukul lima sore. Jadi setiap pulang sekolah, setelah beristirahat sebentar, pukul 14.30 saya harus pergi ke rumah ngaji ini yang kira-kira 1 kilometer dari rumah kami. Dengan berjalan kaki, saya sering melalui jalan pintas menuju kesana dengan melewati beberapa kebun kosong (lampoh soh) ataupun kandang lembu masyarakat desa. Acap kali pula saya harus lari dikejar anjing ataupun berlari tanpa dikejar anjing karena memang rute yang saya lalui ini bukanlah jalan umum sehingga sepi dari lalu lalang orang umumnya.
Peristiwa indah lainnya yang masih sangat membekas kala adalah sebuah tradisi naik kelas atau "Ek Quran Rayeuk". Ini adalah prestasi yang luar biasa bagi seorang anak pengajian di masa itu. Biasanya orang tua si empunya anak akan mempersiapkan nasi pulut (bu leukat) dengan kelapa manis yang kemudian diserahkan kepada Miwa dan beliau akan membagikan kepada kami semua. Setiap ada yang “Ek Quran Rayek” pasti akan menyenangkan bagi semua murid pengajian.
Hal ini akan memotivasi anak-anak lain untuk segera lanjut Qur an Rayek pula. Perasaan bahagia bercampur aduk dengan bangga tak terkira rasanya saat Umi saya membawa bu leukat ke rumah Miwa. Bu leukat yang sudah dibungkus daun pisang ditambah dengan kue bolu khas keluarga siap dibagikan kepada kawan-kawan saya.
Sampai hari ini saya meyakini rasa bahagia itu bukan hanya milik Umi dan Ayah saya saja, tetapi juga milik Miwa karena berhasil mengantar anak muridnya menuju tahap berikutnya membaca kitabullah, Al Quranul karim. Mengingat kenangan ini, dada terasa penuh, sejuta doa saya panjatkan kepada Allah semoga Miwa senantiasa diberikan kesehatan dan umur panjang.
salam : - Ojan -
Pada masa kecil saya dulu, pengajaran Al Quran bagi anak-anak menggunakan metode Bagdadiyah atau ada pula yang menyebutnya Alifba, Quran Ubit, dsb. Selain mengaji di rumah bersama orang tua, di masa itu anak-anak yang sudah mencapai usia lima atau enam tahun akan diantar ke tempat pengajian oleh orang tua mereka. Lazimnya pengajian kala itu ada yang di meunasah, di rumah tengku atau orang -orang yang punya inisiatif untuk mengajarkan Al Quran bagi anak-anak di sekitarnya.
Semua murid pengajian akan mendapatkan pengajaran Al Quran serta hafalan surat-surat pendek dan doa-doa sehari-hari. Pengajian dilaksanakan setiap hari dan berakhir pukul lima sore. Jadi setiap pulang sekolah, setelah beristirahat sebentar, pukul 14.30 saya harus pergi ke rumah ngaji ini yang kira-kira 1 kilometer dari rumah kami. Dengan berjalan kaki, saya sering melalui jalan pintas menuju kesana dengan melewati beberapa kebun kosong (lampoh soh) ataupun kandang lembu masyarakat desa. Acap kali pula saya harus lari dikejar anjing ataupun berlari tanpa dikejar anjing karena memang rute yang saya lalui ini bukanlah jalan umum sehingga sepi dari lalu lalang orang umumnya.
Peristiwa indah lainnya yang masih sangat membekas kala adalah sebuah tradisi naik kelas atau "Ek Quran Rayeuk". Ini adalah prestasi yang luar biasa bagi seorang anak pengajian di masa itu. Biasanya orang tua si empunya anak akan mempersiapkan nasi pulut (bu leukat) dengan kelapa manis yang kemudian diserahkan kepada Miwa dan beliau akan membagikan kepada kami semua. Setiap ada yang “Ek Quran Rayek” pasti akan menyenangkan bagi semua murid pengajian.
Hal ini akan memotivasi anak-anak lain untuk segera lanjut Qur an Rayek pula. Perasaan bahagia bercampur aduk dengan bangga tak terkira rasanya saat Umi saya membawa bu leukat ke rumah Miwa. Bu leukat yang sudah dibungkus daun pisang ditambah dengan kue bolu khas keluarga siap dibagikan kepada kawan-kawan saya.
Sampai hari ini saya meyakini rasa bahagia itu bukan hanya milik Umi dan Ayah saya saja, tetapi juga milik Miwa karena berhasil mengantar anak muridnya menuju tahap berikutnya membaca kitabullah, Al Quranul karim. Mengingat kenangan ini, dada terasa penuh, sejuta doa saya panjatkan kepada Allah semoga Miwa senantiasa diberikan kesehatan dan umur panjang.
salam : - Ojan -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar