Malek Mahmud; Wali Nanggroe atau Vampire Penghisap Darah ??


Siapa (seharusnya) Sang Wali?

1) Garis Keturunan Kesultanan Aceh? sebagai pewaris sah kesultanan Aceh sekaligus ketua Madjelis Tuha Peut yang merupakan Madjelis tertinggi dalam Kesultanan Aceh.

ATAUKAH

2) Hasil Rapat Internal/Tertutup GAM di Stavanger, Norwegia 2002 yang menunjuk Hasan Tiro (Pimpinan Rapat) sebagai Wali Nanggroe dan Malek Mahmud sebagai Pemangku Wali.









Sedikit uraian tentang Malek Mahmud

Malek Mahmud adalah warga negara Singapura saat ditetapkan sebagai Pemangku Wali Nanggroe 10 tahun lalu, demikian pula halnya dengan Hasan Tiro yang warga Negara Swedia. Namun berbeda dengan Hasan Tiro, Malek Mahmud tidak mengalami masa-masa kecilnya di Aceh, demikian juga halnya dengan saudara dan keluarganya yang lebih lama tinggal di Singapura daripada hidup di Aceh. Pun demikian pada masa konflik, dimana Malek Mahmud berada di Swedia bersama Hasan Tiro. Berangkat dari pemahaman ini, Malek Mahmud sangat jelas “tidak dekat” dengan budaya dan adat istiadat Aceh apalagi sejarah Aceh. Keadaan di atas menyebabkan Malek Mahmud tidak dikenal di kalangan masyarakat adat Aceh, ia memang sangat dikenal di kalangan GAM atau KPA/PA sebagai Perdana Menteri GAM namun bukankah Aceh bukan milik mantan kombatan GAM semata? bagaimana dapat diterima oleh masyarakat Aceh jika dikenal pun tidak?

Lembaga Wali Nanggroe

Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, bahasa dan pemberian gelar gelar dan derajat atau upacara-upacara adat lainnya. Secara harfiah dapat kita pahami bahwa lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat.

Sebagaimana diketahui, setidaknya terdapat 3 kepemimpinan dalam kehidupan masyarakat Aceh selama ini, yaitu;

1) Kepemimpinan politik,

2) Kepemimpinan agama,

3) Kepemimpinan adat.

Maka dengan penegasan sebagai seorang “Pemimpin Adat”, kedudukan sang Wali Nanggroe sebenarnya sudah cukup jelas yang dengan Sikap dan Sifat yang “independen”, maka lembaga tersebut dan pemangku “Wali Nanggroe” berada di luar jalur politik bukan dalam lingkaran Partai Politik.

Namun apa yang terjadi? dalam Raqan LWN terdapat sejumlah poin memberikan hak-hak prerogatif kepada Wali Nanggroe antara lain, menguasai semua kekayaan (boinah) Aceh di dalam dan di luar Nanggroe, Memberhentikan/Menon-aktifkan Gubernur (eksekutif), Membubarkan parlemen (legislatif), Memberlakukan keadaan darurat, Memberi gelar (Teungku, Tuanku, Teuku dan lain-lain) kepada siapa dikehendaki dan lain-lain. Inilah pasal-pasal, yang menurut banyak pihak, bertabrakan langsung dengan UUPA itu sendiri dan melanggar konstitusi RI.

Saya pernah membaca sebuah tulisan dari seorang warga Aceh yang berada di Stockholm, Swedia. pernah menulis mengenai Rancangan Undang Undang Pemerintah Aceh yang berkenaan dengan Lembaga Wali Nanggroe yang kini (entah bagaimana bisa) di pangku oleh Malek Mahmud sang mantan Perdana Menteri GAM, padahal ia sama sekali bukan berasal dari kalangan Ulee Balang ataupun Tuha Peut yang memang berpangkat sebagai Wali Adat di dalam sistem tata adat masyarakat Aceh sejak jaman dahulu.

Kriteria Wali Nanggroe

Dalam pasal 15 draft Raqan Wali Nanggroe 2010, ada 19 kriteria yang ditetapkan, di antara lain: beragama Islam, dari keturunan yang baik dan keturunan wali-wali sebelumnya, tidak dzalim, alim, arif, amanah, terpelihara dari hawa nafsu jahat, menguasai bahasa asing dengan lancar, paling kurang bahasa Arab dan Inggris dan lain sebagainya.

Kriteria di atas mengingatkan saya pada tulisan Yusuf Daud seorang warga Aceh yang tinggal di Stockholm, Swedia, yang becerita pada sebuah peristiwa yang terjadi di Stockholm, Swedia.

Pada awal tahun 1992 dalam pertemuan rutin dengan almarhum Teungku Hasan di Tiro di sebuah rumah. Kala itu, pemikiran Wali berkecamuk karena tragedi-tragedi kemanusian di nanggroe dan persoalan lain. Seorang kawan yang galak (suka dimarah-marah) melemparkan pertanyaan kepada wali: siapa kira-kira penggantinya kalau sewaktu-waktu beliau ditakdirkan meninggal dunia. Secara emosional wali menjawabnya:

“Tidak ada, tidak ada”.

Kawan saya ini tidak mau kalah dan mengorek lagi:

“Mungkin pengganti wali nanti ada di sini atau di Malaysia?”

“Ah…tidak. Tidak ada di sini dan tidak ada di Malaysia.” jawabnya spontan.

Semua terdiam sejenak. Kemudian, Wali membeberkan panjang lebar kriteria pengganti beliau. Menurut beliau, wali nanggroe harus dari kalangan ulama, bisa berbahasa Arab dan Inggris, sanggup memberi tafsir al-Quran dan menulis buku.



Harus dari kalangan intelektual yang paham ilmu tata negara, hubungan internasional dan etiket pergaulan antarabangsa. Dalam hal ini, Wali menyebut nama intelektual Iran Dr Ali Syariati, sebagai tipe seorang intelektual Islam yang ia kagumi dan sangat paham dengan cara berfikir orang Barat. Wali menyebutkan beberapa ulama besar Iran seperti Ayatullah Murtada Mutahhari dan lain-lain.

Secara langsung, Wali tidak pernah menyebut penggantinya harus dari keluarga di Tiro. Yang lebih utama lagi, Wali mengatakan suksesornya ada di Aceh bukan anak tunggalnya Karim di Amerika. Kami hanya bisa meraba, yang dimaksud itu adalah Tengku Darul Kamal (alm) yang juga seorang keluarga di Tiro sebelah perempuan. Sinyal ini sudah tercium semasa Tengku Darul Kamal bergerilya di hutan.

Kriteria yang Hasan Tiro maksudkan itu adalah untuk seorang Wali Negara (kepala Negara) yang merdeka dan berdaulat bukan wali nanggroe sebagai pemimpin tertinggi adat di salah satu propinsi di Indonesia, sebagaimana yang diamanatkan UUPA.

Walaupun Qanun LWN masih dalam proses, kriteria kandidat wali telah mulai disuarakan, seperti yang dinyatakan Irwandi Yusuf disela-sela peletakan batu pertama Meuligoe Wali Nanggroe, di mana ia mengatakan bahwa calon wali nanggroe haruslah orang yang bisa mengenal Aceh secara lengkap, tidak sepenggal-sepenggal.

Apapun bentuk hasil akhir Qanun LWN yang akan disahkan, kriteria Wali Nanggroe harus seorang yang sangat bijak dan berwibawa, mengenal dan dikenal luas masyarakat, tidak berpihak atau independen, memiliki latar-belakang yang bersih, bukan eks kriminal, memiliki ilmu pengetahuan agama Islam dan pengetahuan umum yang memadai dan sebagainya. Kriteria pemimpin tertinggi adat menurut standar Aceh paling kurang bisa membaca Quran dengan fasih (bukan qari), menjadi imam shalat berjamaah atau khatib Jumat, kalau ada permintaan, bisa membaca doa selamat untuk keperluan apa saja.

Nah, siapa bisa mengkaji kalau calon wali nanggroe yang diusul Komisi A dalam draft raqannya memenuhi syarat dan kriteria yang mereka buat sendiri dan yang saya sebut di atas tadi?

Terlepas dari itu, untuk merumuskan Raqan Wali Nanggroe harus ditinjau dari segala aspek, supaya tidak bertabrakan dengan nilai-nilai Syariah, HAM, demokrasi dan norma-norma lain yang dianut masyarakat Aceh sekarang.

Memanipulasi Sejarah Aceh

beberapa tahun lalu jauh sebelum hiruk-pikuk ini terjadi, anggota Komite Peralihan Aceh (KPA) dan Partai Aceh (PA) sudah mencalonkan kandidat Wali Nanggroe dari kelompoknya sendiri dan sudah siap pakai. Pada bagian keenam, pasal 14, ayat ke satu, Tengku Hasan Tiro disebut sebagai Wali Nanggroe Aceh kedelapan.

Pertanyaan: di manakah mereka mengambil referensinya? Sedangkan dalam buku-buku yang ditulis oleh Hasan Tiro di antaranya, ACHEH NEW BIRTH OF FREEDOM, yang diterbitkan oleh parlemen Inggris House of Lords, satu Mei, 1992, dalam appendix II, nama Tengku Hasan termaktub sebagai penguasa (ruler) Aceh yang ke 41 yang dimulai pada Sultan Ali Mughayat Syah (1500-1530) sampai kepada dirinya (1976-2010).

Apa yang menjadi pijakan tim perumus ketika menempatkan Tengku Hasan di Tiro sebagai raja Aceh ke delapan yang dimulai dari Tgk Syeh Muhammad Saman di Tiro sebagai raja Aceh pertama dan diakhiri oleh cicitnya Tengku Hasan di Tiro. Mereka ingin menghidupkan kembali dinasti di Tiro dengan memangkas semua raja-raja yang terdahulu, mulai dari Sultan Ali Mughayat Syah (1500-1530) sampai kepada Sultan Muhammad Dawud Syah (1874-1903). Ini merupakan sebuah tindakan Coup D’Etat ke atas sejarah Aceh.

Dalam pasal yang sama, ayat kedua disebutkan Malek Mahmud sebagai perdana menteri dalam rapat sigom donya di Stavanger, Norwegia pada 2 Juli 2002, otomatis dapat menggantikan kedudukan Hasan Tiro sebagai pemangku jabatan wali nanggroe ketika beliau meninggal.

Pertama, Rapat tertutup intern GAM di Stavanger pada 2 Juli 2002 yang dihadiri oleh sebagian masyarakat Aceh di perantauan, khususnya dari Denmark dan Norwegia, tidak bisa dibuktikan validitasnya. Kedua, pelantikan Malek Mahmud (MM) sebagai perdana menteri hanya mengada-ada dan perlu dibuktikan. Ketiga, kedudukan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan tidak bisa menggantikan kedudukan Wali Neugara sebagai kepala Negara walau dalam keadaan darurat sekalipun.

Ketika Carl XIII menggantikan kemenakannya sebagai Raja Swedia pada tahun 1809, dia tidak memiliki keturunan. Dan satu-satunya anak angkatnya, putra mahkota Kristian August mangkat pada tahun 1810. Swedia memerlukan putra mahkota yang baru untuk menggantikan Raja Carl VIII setelah ia mangkat. Kerajaan bermusyawarah dan akhirnya mengirim utusan ke Perancis untuk menawarkan kedudukan tersebut kepada salah seorang marsekal Perancis Bernadotte yang paling dekat hubungan keluarga dengan Kaisar Napoleon.

Pada tanggal 21 Agustus 1810 Parlemen Swedia (Riksdag of the Estates) memilih Jean Baptiste Bernadotte sebagai putra mahkota Sweden. Dan putra mahkota baru ini dinobatkan sebagai Carl Johan. Jadi, sejak 1818 Swedia diperintah oleh keturunan Barnadotte termasuk juga Norway antara 1818 dan 1905, ketika negara ini masih bersatu (union) dengan Swedia.

Besar kemungkinan Malek Mahmud (MM) pernah membaca silsilah raja-raja Swedia ketika duduk-duduk di kedai kebab Turki di Swedia dan terinspirasi dengan kejadian tersebut. Untuk menjadi seorang raja tidak harus dari keturunan raja-raja. Mungkin juga terinspirasi ala Menteri Luar Negeri Aceh Habib Abdurrahman Zahir mempenetrasi inner circle kerajaaan Aceh dalam masa singkat dengan mendekati dan mengontrol Ulee Balang yang dipercayai Sultan sehingga dia pun mendapat kepercayaan Sultan.

Kenyataannya, Malek Mahmud menggunakan metode yang sama dan malah jauh lebih sadis. Mula-mula menguatkan posisi keurabeuek setelah Hasan Tiro kena stroke pada Mai 1997, kemudian mengambil alih kekuasan perlahan-lahan dan akhirnya semua keurabeuek berada dalam genggamannya sampai-sampai darah biru milik endatunya yang suci itu disuntik ke dalam tubuh Malik Mahmud. Sebagian keurabeuëk yang terlanjur mempercayainya dan memprotes akhirnya disingkirkan.

Harkat dan Martabat dalam 50 Miliar uang Rakyat

Muhammad Zaini, Gubernur Aceh menilai anggaran 50 Miliar untuk biaya Seremoni Pelantikan sang Wali Nanggroe, Malek Mahmud tersebut adalah wajar, untuk meningkatkan harkat dan martabat Wali Nanggroe. Pengalokasian anggaran daerah sebesar Rp50 miliar dalam rangka pengukuhan Wali Nanggroe pada Desember 2013 mendatang, terlalu besar, jika melihat masih banyaknya kebutuhan rakyat Aceh saat ini yang provinsinya termasuk diurutan ketiga termiskin di Indonesia setelah Papua dan NTT. Pengusulan anggaran Rp 50 miliar oleh DPR Aceh tersebut, tidak rasional dan tidak masuk akal. Sebab anggaran Rp 50 miliar tidak substansi dan tidak mempunyai dampak dari anggaran itu sendiri. Angka Rp 50 miliar seperti itu sangat besar bagi DPR Aceh. Harusnya wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat Aceh tersebut bisa lebih bijaksana dan pintar dalam mengatur dan mengusulkan anggaran yang notabane berasal dari uang rakyat. Jika saja Rp 50 Miliar itu dialihkan untuk program kesejahteraan rakyat Aceh itu akan sangat membantu. Selain itu, anggaran itu lebih penting jika didorong untuk membantu masyarakat di daerah bencana dan pulau terpencil di Provinsi Aceh seperti membangun sekolah dasar dan Rumah Kaum Dhuafa.

“Mau dibawa kemana Aceh sekarang jikalau orang yang diharapkan sebagai sosok pemersatu bukanlah orang baik yang diharapkan oleh rakyat Aceh? Bukankah Aceh ini milik kita semua? bukan hanya milik suatu kelompok ataupun partai? Jika memang benar untuk semua, lalu mengapa rapat di Stavanger Norwegia 10 tahun lalu dijadikan landasan yang sangat kuat sehingga seolah-olah “mewakili” seluruh rakyat Aceh? bukankah itu rapat internal GAM? dibanding 4 juta rakyat Aceh berapa persen jumlah GAM saat itu? Situasi dan keadaan Aceh akan semakin membingungkan di tengah 18% rakyat Aceh masih hidup di bawah garis kemiskinan, ratusan ribu pengangguran yang belum memperoleh lapangan pekerjaan dan ratusan ribu lainnya masih menderita akibat korban sisa konflik. Adakah Qanun Wali Nanggroe ini dapat merubah angka-angka itu? ataukah hanya beralasan “itu tugas pemerintah Aceh?” kalau begitu Qanun Wali Nanggroe untuk apa dan siapa?” ­– Azada Addin

Maka kini, yang sangat di sesalkan oleh rakyat Aceh adalah pemimpin yang mereka pilih dari tatanan pemilihan umum yang demokrasi dirusak oleh yang mereka pilih tersebut lalu menghambur-hamburkan uang rakyat hanya untuk sekedar seremoni pengukuhan seorang Pemangku Adat dalam Masyarakat Aceh.

Rp 50 Miliar dapat membangun ribuan sekolah dan membuka ratusan lapangan pekerjaan bagi pengangguran di Aceh, bukan untuk di foya-foyakan sebagai nafsu yang mereka sebut sebagai “Harkat dan Martabat.”

Aceh ku malang, Aceh ku sayang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar