" WASPADA, PRAKTEK "RIBA" DALAM GAMPONG " (Oleh : Muhammad Sahar)

Dewasa ini, perekonomian semakin maju dan berkembang dalam kehidupan masyarakat dengan adanya bantuan-bantuan berupa dana dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM), baik itu lembaga pemerintah maupun swasta. Dana-dana tersebut langsung disalurkan oleh LSM ke rekening gampong, selanjutnya dikelola oleh bendahara gampong.

Dana tersebut biasanya dipergunakan untuk infrastruktur dan pemberian modal usaha untuk pihak yang memerlukannya. Dalam bentuk pemberian modal usaha dikenal dengan istilah simpan-pinjam. Di mana, masyarakat meminjam uang tersebut untuk keperluan usaha, pada saat jatuh tempo uang tersebut dikembalikan lagi ke kas gampong. Dalam aplikasinya sebagian gampong, sistem penyaluran modal usaha keutungannya menggunakan bunga. Misalkan, kelompok A meminjamkan uang dengan jumlah Rp 20 juta untuk keperluan usaha dalam bentuk pertenakan ayam dengan jangka waktu 5 bulan.

Kemudian, ketika telah jatuh tempo uang tersebut harus dikembalikan oleh kelompok A dengan jumlah Rp 25 juta. Namun jika kelompok A terlambat mengembalikan uang tersebut maka dikenakan sanksi dengan pembayaran yang lebih dengan jumlah Rp 50 ribu ditambah jumlah pokok pinjaman dan bunga. Jadi, keuntungan yang diperoleh Rp 5 juta di tambah biaya keterlambatan Rp 50 ribu, jumlah totalnya Rp 5.050.000.

RIBA

Riba adalah menetapkan keuntungan (bunga) dengan melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Model pengambilan keuntungan yang diaplikasikan seperti kasus di atas pada dana simpan-pinjam dalam bentuk penyaluran modal usaha untuk peternakan ayam terdapat dua katagori riba antara lain.

Pertama, riba nasyi’ah yaitu tambahan yang diisyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan (iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut. Pengambilan keuntungan pada sistem penyaluran dana usaha telah dipersyaratkan di awal, di mana kelompok A meminjamkan uang Rp 20 juta ketika jatuh tempo harus mengembalikan uang dengan jumlah Rp 25 juta. Adapun keuntungan yang didapatkannya berjumlah Rp 5 juta dari jumlah pokok pinjaman.

Pengambilan keuntungan semacam ini tidak dibenarkan syariat, karena pengambilan keuntungan (alghunmu) muncul tanpa ada ada risiko (al-ghurmi), hasil usaha (al-kharaj) muncul tanpa adanya biaya (dhaman); Al-ghunmu dan al-kharaj muncul hanya dengan berjalannya waktu. Padahal dalam usaha selalu terjadi keuntungan dan kerugian yang tidak dapat dipastikan. Menentukan keuntungan secara pasti tanpa memikirkan risiko yang terjadi pada pengelola modal adalah bentuk kezaliman terhadap manusia. Jadi, memperlakukan sesuatu yang sebenarnya tidak pasti (uncertain) menjadi sesuatu yang pasti (certain) hukumnya haram.

Kedua, riba jahiliyah yaitu utang yang dibayar melebihi pokok pinjaman, dimana sepeminjam tidak mampu mengembalikan uang pada waktu yang telah diperjanjikan. Pihak A harus mengembalikan uangnya pada waktu yang telah disepakati dengan jangka waktu 5 bulan. Jika, kelompok A terlambat satu minggu dari waktu yang telah disepakati maka harus mengembalikan uang tambahan dengan jumlah Rp 50 ribu sebagai denda keterlambatan. Riba jahiliyah dilarang karena terjadi pelanggaran kaidah seperti disebutkan kullu manfa’at jara manfa’atan fahuwa riba (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Jadi, membebankan bagi seseorang uang tambahan sebagai sanksi keterlambatan maka hukumnya haram.

SOLUSI

Islam tidak melarang seseorang mengambil profit dalam bentuk pinjam-meminjam seperti dana simpan-pinjam. Selama keutungan itu diperoleh dengan cara yang baik tidak menzalimi orang lain (la tad’limu wala tud’lamun), maka itu diperbolehkan dalam Islam (halal), sebagaimana firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 29).

Maka dari itu, Sistem penyaluran yang diaplikasikan pada dana simpan-pinjam harus menggunakan aqad mudharabah, aqad syirkah, dan aqad murabahah agar tidak terjadi riba dalam pengambilan keuntungan sebagaimana yang telah diimplementasikannya. Apabila penyalurannya dalam bentuk modal usaha maka akad yang harus digunakan adalah aqad mudharabah atau aqad syirkah. Misalkan kelompok A meminjam uang Rp 20 juta untuk modal usaha peternakan ayam.

Selanjutnya membuat kesepakatan antara kedua belah pihak dalam pembagian keuntungan dengan sistem bagi hasil. Misalkan kesepekatan bagi hasil dari keuntungan yang diperoleh 30:70, untuk pemilik modal 30% dan untuk pelaku usaha 70%. Apabila terjadi kerugian maka harus ditanggung bersama. Pemilik modal menanggung financial sedangkan pengelola modal menanggung non financial kecuali adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh pengelola modal. Sedangkan modal dikembalikan secara utuh tanpa ada penambahan sedikitpun.

Seandainya kelompok A memiliki modal Rp 15 juta sedangkan untuk modal usahanya menghabiskan dana Rp 20 juta. Kemudian kelompok A meminjamkan uang Rp 5 juta agar mencukupinya, maka akad yang harus digunakan adalah aqad syirkah. Jika untung harus dibagi sesuai dengan porsi modal masing-masing dan jika rugi ditanggung sesuai dengan porsi modal masing-masing.

Jika penyaluran dalam bentuk konsumtif maka akad yang harus digunakan adalah aqad murabahah. Misalkan si B ingin membeli peralatan rumah tangga, uang yang dimilikinya Rp 5 juta sedangkan peralatan rumah tangga harga Rp 10 juta. Pemiliki modal tidak perlu memberikan uang kepada si B, akan tetapi langsung membeli barang sesuai yang diinginkan oleh si B, kemudian barang tersebut dijual kembali kepada si B dengan harga yang lebih tinggi. Misalkan harga barang yang dibeli dari suplayer Rp 10 juta, kemudian dijual kepada si B dengan harga Rp 11 juta. Pihak B boleh membeli secara cicil dan boleh membeli secara lansung. Jadi, keuntungan yang didapatkan dengan sistem jual beli hukumnya boleh, Sebagaimana firman Allah:

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

HIKMAH

Islam telah mengatur aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari khusunya dalam bidang muamalah (ekonomi). Ekonomi Islam tidak hanya berbicara nilai positif, tetapi juga berbicara nilai normatif. Jika, aturan-aturan yang dikehendaki Allah diaplikasikan dalam bidang ekonomi maka akan mendapatkan kebahagian baik di dunia maupun di akhirat.

Dalam bidang ekonomi terkadang sebagian orang tidak memiliki modal tetapi memilik keahlian untuk membuat sesuatu usaha menjadi produktif dan sebagian yang lain memiliki modal tetapi tidak ada keahlian dalam mengelolanya. Dengan adanya aqad mudharabah, musyarakah dan murabahah akan terjalin kerja sama antara pemilik modal dan pengelola modal, di mana pemilik modal akan mendapatkan mamfaat dari hasil usaha pengelola modal sedangkan pengelola modal akan mendapatkan mamfaat dari harta pemilik modal sehingga akan mempererat tali persaudaraan antar sesama muslim.

Di samping itu, prinsip bagi hasil akan mendorong pemerataan kekayaan antar kedua belah pihak. Pemilik modal dan pengelola modal akan mendapatkan keuntungan apabila usaha tersebut berhasil. Namun jika rugi mereka akan sama-sama menanggung kerugiannya. Berbeda dengan prinsip bunga, di mana keuntungan yang diperoleh bersifat tetap, tidak peduli pengelola modal rugi atau untung. Ada istilah yang sering kita dengar yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar