Banda Aceh - Ketua Badan Legislasi (Banleg) Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengatakan jika persoalan bendera Aceh tidak menemui solusi, maka secara aturan maka Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang telah menandatangai kesepakatan damai pada 15 Agustus 2005 lalu di Helsiki-Finlandia, harus kembali ke meja perundingan dengan melibatkan tokok politik internasional seperti CMI dan Uni Eropa.
"Bendera Aceh ini adalah amanah dari Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) yang merupakan turunan dari MoU (perjanjian damai) Helsinki, yang merupakan janji Pemerintah Pusat untuk Aceh. Jika tidak mendapatkan titik temu antara Pemerintah Pusat dan Aceh, maka secara On The Reel (jalurnya) harus kembali ke meja perundingan internasional," kata Abdullah Saleh kepada acehonline.info, Sabtu (27/7) di Banda Aceh.
Namun, kata Abdullah Saleh, jika persoalan tersebut dapat diselesaikan di dalam, maka tidak perlu harus dibawa ke luar dengan melibatkan dunia internasional.
"Persoalan bendera ini kan tidak terlalu urgent, sehingga bisa diselesaikan di dalam. Dalam hal pembahasan bendera ini juga, Pemerintah Aceh tidak terbawa kepada pemikiran emosional, tetapi dengan pola kekeluargaan yakni dengan cara bermsuyawarah dan berdemokrasi," ujarnya.
Sementara itu mengenai pengibaran bendera pada 15 Agustus 2013 mendatang, Abdullah Saleh menjelaskan, bahwa hal itu bukanlah suatu pergerakan untuk menuju kemerdekaan, melainkan dalam kerangka perdamaian. Untuk itu, Ia sangat menyayangkan statement Mendagri yang menyatakan akan berkoordinasi kepolisan jika bendera Aceh dikibarkan.
"Saya menilai Mendagri gagal memahasi Aceh. Sekarang ini Aceh sudah jauh berubah, dimana saat ini telah memasuki fase damai," imbuh Abdullah Saleh.
Pengibarann bendera Aceh, Ia manambahkan, jelas dilakukan untuk penguatan damai, karena dilakukan bertepatan dengan peringatan perjanjian damai Aceh yang telah memasuki delapan tahun.
"Pengibarannya juga dilakukan dengan diawali dengan pengibaran Bendera Merah Putih, maka jelas pengibaran ini bukan untuk pergerakan kemerdekaan, tetapi untuk penguatan damai Aceh," kata Abdullah Saleh.
"Aceh sudah bulat kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka tidak ada istilah saat ini bicara merdeka atau tidak merdeka, tetapi yang perlu dibicarakan adalah Aceh yang memiliki kekhususan dan pemerintah yang khusus di bawah NKRI," tambahnya.
Selain itu, Abdullah Saleh menambahkan, Ia jaga sangat menyangkan sikap sejumlah pejabat pemerintahan di Jakarta lainnya, yang telah menghembuskan isu perpecahan akibat bendera Aceh, dan membuat suasana semakin memanas.
"Soal keberadaan bendera Aceh yang dinilai timbul perpecahan itu sangat berlebihan. Itu hanya isu yang dihembuskan Pemerintah Pusat. Di Aceh saat ini tenang-tenang saja, karena tidak ada gejolak-gejolak yang terlihat di masyarakat," kata Abdullah Saleh.
Soal pembentukan Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABAS) akibat adanya bendera Aceh, Abdullah Saleh menambahkan, hal itu merukan sesuatu yang dilebih-lebihkan.
"Persoalan ini juga Pusat yang menghembuskan apinya. Karena jika pusat diam saja dan tidak mendukung, kan mereka tetap masyarakat Aceh dan bagaian dari Aceh," ujar Abdullah Saleh.
Sementara itu mengenai bendera Aceh yang dinilai bisa membuat perpecahan nasional, yakni seperti Maluku (RMS) dan Papua (OPM) yang juga menginginkan benderanya menjadi bendera daerah, Abdullah Saleh menyatakan hal itu juga dinilai terlalu luas dan belebihan.
"Soal bendera daerah kan telah diatur oleh undang-undang, dan semua daerah memiliki bendera masing-masing. Namun untuk Aceh itu jelas diatur di UUPA yang merupakan turunan MoU Helsinki, jadi secara hukum dan history, keberadaan bendera Aceh ini cukup kuat," ujarnya.
Atas persoalan bendera ini, Abdullah saleh berharap, Pemerintah Pusat dapat berfikir bijak dalam mengambil keputusan mengenai bendera Aceh.
"Ikhlaskan sajalah bendera ini, sebagai hadiah untuk rakyat Aceh. Toh Aceh juga sedang ikhlas untuk kembali ke NKRI, dan tidak berniat sedikitpun lagi untuk merdeka," imbuh politisi Partai Aceh ini.(Reza Gunawan)
Sumber : Aceh Online
"Bendera Aceh ini adalah amanah dari Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) yang merupakan turunan dari MoU (perjanjian damai) Helsinki, yang merupakan janji Pemerintah Pusat untuk Aceh. Jika tidak mendapatkan titik temu antara Pemerintah Pusat dan Aceh, maka secara On The Reel (jalurnya) harus kembali ke meja perundingan internasional," kata Abdullah Saleh kepada acehonline.info, Sabtu (27/7) di Banda Aceh.
Namun, kata Abdullah Saleh, jika persoalan tersebut dapat diselesaikan di dalam, maka tidak perlu harus dibawa ke luar dengan melibatkan dunia internasional.
"Persoalan bendera ini kan tidak terlalu urgent, sehingga bisa diselesaikan di dalam. Dalam hal pembahasan bendera ini juga, Pemerintah Aceh tidak terbawa kepada pemikiran emosional, tetapi dengan pola kekeluargaan yakni dengan cara bermsuyawarah dan berdemokrasi," ujarnya.
Sementara itu mengenai pengibaran bendera pada 15 Agustus 2013 mendatang, Abdullah Saleh menjelaskan, bahwa hal itu bukanlah suatu pergerakan untuk menuju kemerdekaan, melainkan dalam kerangka perdamaian. Untuk itu, Ia sangat menyayangkan statement Mendagri yang menyatakan akan berkoordinasi kepolisan jika bendera Aceh dikibarkan.
"Saya menilai Mendagri gagal memahasi Aceh. Sekarang ini Aceh sudah jauh berubah, dimana saat ini telah memasuki fase damai," imbuh Abdullah Saleh.
Pengibarann bendera Aceh, Ia manambahkan, jelas dilakukan untuk penguatan damai, karena dilakukan bertepatan dengan peringatan perjanjian damai Aceh yang telah memasuki delapan tahun.
"Pengibarannya juga dilakukan dengan diawali dengan pengibaran Bendera Merah Putih, maka jelas pengibaran ini bukan untuk pergerakan kemerdekaan, tetapi untuk penguatan damai Aceh," kata Abdullah Saleh.
"Aceh sudah bulat kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka tidak ada istilah saat ini bicara merdeka atau tidak merdeka, tetapi yang perlu dibicarakan adalah Aceh yang memiliki kekhususan dan pemerintah yang khusus di bawah NKRI," tambahnya.
Selain itu, Abdullah Saleh menambahkan, Ia jaga sangat menyangkan sikap sejumlah pejabat pemerintahan di Jakarta lainnya, yang telah menghembuskan isu perpecahan akibat bendera Aceh, dan membuat suasana semakin memanas.
"Soal keberadaan bendera Aceh yang dinilai timbul perpecahan itu sangat berlebihan. Itu hanya isu yang dihembuskan Pemerintah Pusat. Di Aceh saat ini tenang-tenang saja, karena tidak ada gejolak-gejolak yang terlihat di masyarakat," kata Abdullah Saleh.
Soal pembentukan Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABAS) akibat adanya bendera Aceh, Abdullah Saleh menambahkan, hal itu merukan sesuatu yang dilebih-lebihkan.
"Persoalan ini juga Pusat yang menghembuskan apinya. Karena jika pusat diam saja dan tidak mendukung, kan mereka tetap masyarakat Aceh dan bagaian dari Aceh," ujar Abdullah Saleh.
Sementara itu mengenai bendera Aceh yang dinilai bisa membuat perpecahan nasional, yakni seperti Maluku (RMS) dan Papua (OPM) yang juga menginginkan benderanya menjadi bendera daerah, Abdullah Saleh menyatakan hal itu juga dinilai terlalu luas dan belebihan.
"Soal bendera daerah kan telah diatur oleh undang-undang, dan semua daerah memiliki bendera masing-masing. Namun untuk Aceh itu jelas diatur di UUPA yang merupakan turunan MoU Helsinki, jadi secara hukum dan history, keberadaan bendera Aceh ini cukup kuat," ujarnya.
Atas persoalan bendera ini, Abdullah saleh berharap, Pemerintah Pusat dapat berfikir bijak dalam mengambil keputusan mengenai bendera Aceh.
"Ikhlaskan sajalah bendera ini, sebagai hadiah untuk rakyat Aceh. Toh Aceh juga sedang ikhlas untuk kembali ke NKRI, dan tidak berniat sedikitpun lagi untuk merdeka," imbuh politisi Partai Aceh ini.(Reza Gunawan)
Sumber : Aceh Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar